Ditulis pada 19 September, 2008
oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir
Suatu sore, di
tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ serasa hening
mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis,
tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap sipir
penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu
berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu ‘jenggel’ milik tuan
Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang
mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. “Hai…hentikan suara jelekmu!
Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun,
apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap sajabersenandung dengan
khusyu’nya. Roberto bertambah berang.
‘Algojo penjara’ itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebihsekadar
cukup untuk satu orang. Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta
sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia
lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang
menyala.
Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat
kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata, “Rabbi,
waana’abduka…” Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir
sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustadz…Insya Allah tempatmu di Surga.”
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan,’algojo
penjara’ itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara
untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga
terjerembab di lantai. “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak
suka bahasa jelekmu itu?!Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan
agamamu!Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada
dalamkekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram
dengan ’suara-suara’ yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai
balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk
agama kami.”
Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto
dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh…aku sangat
merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat
kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera
menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika akuturuti
kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendaratdiwajahnya.
Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah
bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh,
meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun,tangan
sang Ustadz telahterlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
“Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto. “Haram bagi tanganmu
yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang
ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya
Roberto, mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.
Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari
tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah
terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto.Laki-laki bengis
itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan
‘algojo penjara’itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah
mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil
yangmembuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah
lusuh. Mendadak algojo itu termenung. “Ah…sepertinya aku pernah mengenal buku
ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” suara hati Roberto
bertanya-tanya.
Perlahan
Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu
bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu.
Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu.Namun, sekarang tak
pernah dilihatnya di bumi Spanyol.Akhirnya, Roberto duduk disamping sang ustadz
yang telah melepasnafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi
tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras
mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.Pemuda
itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadikericuhan besar di
negeri tempat kelahirannya ini.
Sore itu ia
melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan inkuisisi (lapangan tempat
pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta
darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di
hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)digantung pada
tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup
angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan
berkibar-kibardi udara. Sementara, ditengah lapangan ratusan pemuda Islam
dibakarhidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki
agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih
berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban
itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang
ibu yang terkulai lemah ditiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati
tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti ibunya. Sang
bocahberkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari
telahmalam, bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi
tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi,cepat pulang ke rumah ummi…” Bocah kecil itu
akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia
semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah
pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya ” Abi…Abi…Abi…”Namun, ia segera
terhenti berteriak memanggil sang ba pak ketika teringat kemarin sore bapaknya
diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Hai…siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekatisang
bocah. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawab sang bocah memohon belas
kasih. “Hah…siapa namamu bocah, coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka.
“Saya Ahmad Izzah…” sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba
plak! sebuah tamparan mendarat dipipi sang bocah. “Hai bocah…! Wajahmu bagus
tapinamamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang
bagus. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’ ..Awas! Jangan kau sebut lagi namamu
yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!”
ancam laki2 itu. Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air
mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya
keluar lapanganInkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sedar dari renungannya yang panjang.
Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara
yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki
itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeris,
“Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.
Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku
kecil yang ada di dalam menggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu
sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat
betul ayahnya mempunyai’tanda hitam’ pada bahagian pusar. Pemuda beringas itu
terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada
penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini.Lidahnya yang sudah berpuluh
-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi.. aku
masih ingat alif, ba, ta, tsa…” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam
benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang
membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang
tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi,tunjukkan aku pada jalan
itu…” Terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk
berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang.
Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat
berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini
semata-mata buktikebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap.” Anakku, pergilah engkau ke
Mesir. Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh
Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah
selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal
kalimah indah “Asyahadu anla Illaaha ilallah,waasyhadu anna Muhammad
Rasullullah..” Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah
sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir.Seluruh hidupnya
dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam’, sebagai gantikekafiran yang di masa muda
sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru
dengannya… ” Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah…”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS
30:30)