Kamis, 03 Mei 2018

Penemuan Jati Diri Jendral Adolf Roberto (Ahmad Izzah)

Ditulis pada oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir
Suatu sore, di tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ serasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu ‘jenggel’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. “Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun, apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap sajabersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang.
‘Algojo penjara’ itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebihsekadar cukup untuk satu orang. Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata, “Rabbi, waana’abduka…” Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustadz…Insya Allah tempatmu di Surga.”
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan,’algojo penjara’ itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. “Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?!Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu!Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalamkekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ’suara-suara’ yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami.”
Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika akuturuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendaratdiwajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun,tangan sang Ustadz telahterlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto. “Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto, mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.
Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto.Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yangmembuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. “Ah…sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.” suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu.Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.Akhirnya, Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepasnafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadikericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.


Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibardi udara. Sementara, ditengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakarhidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah ditiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti ibunya. Sang bocahberkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telahmalam, bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi,cepat pulang ke rumah ummi…” Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya ” Abi…Abi…Abi…”Namun, ia segera terhenti berteriak memanggil sang ba pak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Hai…siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekatisang bocah. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawab sang bocah memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu bocah, coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba plak! sebuah tamparan mendarat dipipi sang bocah. “Hai bocah…! Wajahmu bagus tapinamamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’ ..Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki2 itu. Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapanganInkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeris, “Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.
Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam menggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai’tanda hitam’ pada bahagian pusar. Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini.Lidahnya yang sudah berpuluh -puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi.. aku masih ingat alif, ba, ta, tsa…” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi,tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata buktikebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap.” Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla Illaaha ilallah,waasyhadu anna Muhammad Rasullullah..” Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir.Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam’, sebagai gantikekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya… ” Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah…”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS 30:30)

Kisah Pengrajin Kendi dan Pengrajin Emas


Bertahun-tahun yang lampau di salah sebuah kota , tinggal seorang pengrajin emas dan seorang pembuat kendi. Perajin emas itu seorang materialis dan pecinta harta. Oleh sebab itu, dia senantiasa berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan harta dan kekayaan. Semua orang tahu bahwa dia tidak mengindahkan kejujuran.  Sebaliknya, pembuat kendi adalah seorang mukmin dan pekerja keras. Dia dicintai oleh masyarakat. Setiap orang yang memiliki problema akan datang meminta bantuannya. Si perajin emas berfikir, mengapa warga kota begitu menyintai pembuat kendi, padahal dia tidak memiliki harta benda. Menurutnya, cinta dan kasih sayang bisa diperoleh lewat tipu daya dan makar. Karena itu timbul rasa dengki si pengrajin emas terhadap pembuat kendi.  Pada salah satu hari, sewaktu petugas kota mengejar pencuri di pasar, si pengrajin emas melihat bahwa saat itu adalah momen yang tepat untuk menuntaskan dendamnya terhadap pembuat kendi. Oleh sebab itu, dia menunjuk si pembuat kendi dan berbohong dengan mengatakan: Saya melihat pencuri masuk ke rumah lelaki ini.  Petugas dengan segera memasuki rumah pembuat kendi dan ketika dia tidak menemukan tanda-tanda adanya pencuri, ia menyeret paksa pembuat kendi ke penguasa dan memintanya untuk menyerahkan si pencuri. Pembuat kendi bersumpah bahwa dia tidak mengetahui apa-apa. Tapi ada daya, ia tetap dijebloskan ke penjara. Selang beberapa hari kemudian, pencuri tersebut tertangkap dan sekaligus membuktikan bahwa pembuat kendi tidak bersalah. Diapun dibebaskan. Sebaliknya, pengrajin emas yang berbohong mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya.  Setelah peristiwa itu, si pengrajin emas itu bukan hanya tidak menyesal atas tindakannya, tetapi malah semakin dibakar oleh api kedengkian terhadap pembuat kendi. Apalagi, dia menyaksikan bahwa si pembuat kendi semakin dicintai oleh masyarakat.

 Dengki dan hasad sedemikian membakar jiwa dan hatinya sehingga dia mengambil keputusan yang berbahaya. Dia menyediakan racun dan memperalat seorang anak muda bodoh untuk meracun pembuat kendi dengan mengupahnya seratus keping emas. Hari yang ditetapkan pun tiba. Perajin emas menanti suara jerit tangis dari rumah pembuat kendi. Tetapi hal itu tidak terjadi. Sebaliknya pembuat kendi kelihatan sehat dan segar bugar seperti biasa.

 Pengrajin emas merasa heran dan dengan segera dia mencari anak muda itu dan menyelidiki apa yang terjadi. Sadarlah dia bahwa bukan hanya si pembuat kendi itu tidak diracun, tetapi anak muda tersebut malah lari dari kota membawa seratus keping emas pemberiaannya.  Ketika perajin emas ini mendengar berita itu, dia merasa sangat sedih. Begitu sedihnya sampai ia jatuh sakit.  Tidak ada dokter yang bisa mengobatinya. Ya, karena memang tidak ada obat yang bisa menyembuhkan api dendam dan kedengkian. Lelaki pengrajin emas telah kehilangan segala-galanya dan dunia menjadi gelap baginya. Hal ini menyebabkan isteri dan anak-anaknya meninggalkannya. Berita kesendirian pengrajin emas yang sakit itu diketahui oleh tetangganya, si pembuat kendi yang baik hati. Dia berpikir, inilah waktunya untuk pergi mengunjungi pengrajin emas. Dia menyediakan makanan yang enak dan membawanya ke rumah perajin emas.  Pengrajin emas, tidak dapat berkata apa-apa ketika melihat pembuat kendi. Pembuat kendi duduk di sisinya dan dengan lemah lembut menanyakan keadaan dirinya dan berkata: Aku datang karena memenuhi hakmu sebagai tetanggaku.  Pengrajin emas menundukkan kepalanya karena malu. Pembuat kendi melanjutkan:  Aku mengetahui segala apa yang berlaku pada masa lalu. Anak muda itu satu hari datang kepadaku dan memberitahu apa yang terjadi dan menyarankan supaya aku meninggalkan kota ini karena sudah tentu nyawa aku akan tidak selamat dari mu. Tetapi oleh karena aku berharap kepada rahmat dan karunia Ilahi, setiap hari aku berdoa untuk mu semoga dirimu dibebaskan dari rasa dengki dan hasad terhadapku.  Kata-kata pembuat kendi menyebabkan pengrajin emas itu menangis. Pembuat kendi memegang tangan tetangganya dan berkata, “Sahabat ku, ketahuilah bahawa kedengkian laksana api yang membakar dan orang yang mula-mula dibakarnya adalah diri insan itu sendiri. Alangkah baiknya jika dalam masa yang pendek dan singkat di kehidupan dunia ini, kita saling kasih mengasihi sehingga kita meninggalkan nama yang baik. Tahukah engkau apakah rahasia kebaikanku di tengah masyarakat? Untuk mengetahui rahasia ini, aku ingin menyajikan sebuah kisah untuk mu.  Pengrajin emas memasang telinganya untuk mendengar kisah tersebut dan dalam keadaan tersenyum yang tersungging di bibirnya, dengan penuh perhatian dia mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh pembuat kendi. Si pembuat kendi berkata; Pada suatu hari Imam Sajad as, berkata kepada salah seorang sahabatnya bernama Zuhri yang begitu sedih memikirkan segala yang muncul dari sifat hasad pada dirinya. Beliau berkata:  “Wahai Zuhri, apakah salahnya jika engkau menganggap orang lain sama seperti saudara dan keluargamu sendiri, orang yang tua sebagai bapakmu, anak-anak sebagai anakmu dan orang yang sebayamu seperti saudaramu sendiri. Ketika dalam keadaan begini, bagaimana mungkin engkau berbuat zalim kepada orang lain? Janganlah engkau lupa pada hal ini bahwa orang lebih menyayangi siapa yang berbuat baik kepada orang lain. Jika metode yang begini engku teruskan dalam hidupmu, dunia akan menjadi tempat yang membahagiakanmu dan engkau akan mempunyai banyak kawan.

  Kata-kata pembuat kendi itu sampai disini. Pengrajin emas berpikir jauh dan lahirlah rasa penyesalan di wajahnya. Dengan suara yang bergetar, dia meminta maaf atas segala yang terjadi di masa lalu. Kepada Tuhan dia berjanji bahwa selepas ini dia akan menggantikan rasa dengki yang memenuhi hatinya dengan kasih sayang dan persahabatan kepada orang lain.

Selasa, 01 Mei 2018

Generasi Salaf berbakti pada Ibu


Dari muhammadi bin Sirin, dia berkata: “Pada zaman kekhalifahan ‘Utsman bi Affan satu pohon kurma pernah mencapai harga tertinggi seribu dirham. Pada waktu itu Usamah bin Zaid bin Haritsah melukai sebuah pohon kurma dan mengeluarkan jummarnya (seuatu seperti lemak yang terdapat diujung atas pohon kurma) untuk ekmudian diberikan kepada ibunya. Orang-orang sampai terheran dan berkata kepadanya: “Mengapa kamu sampai melukai pohon kurmamu? Bukankah kamu tahu bahwa harganya sekarang mencapai seribu dirham?” Usamah menjawab: “Jika ibuku telah meminta sesuatu kepadaku maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali harus memenuhi permintaannya tersebut.” [shifatush-Shafwah (I/522)].
Dari Abdullah bin Al Mubarak, dia berkata: Muhammad bin Al Munkadir berkata: “Pada malam hari Umar mengerjakan shalat. Sedangkan aku pada malam itu sedang merawat kaki ibuku yang sedang sakit. Namun aku merasa malamku itu lebih menyenangkan daripada malamnya (yang dipebuhi dengan ibadah shalat).” [Shifatush-Shafwah (II/143)].
Ibnu ‘Aun pernah bercerita, “Syahdan, ada seorang lelaki yang ingin menemui Muhammad bin Sirin di rumah ibunya. Pada waktu itu beliau sedang berada disisi ibunya (dalam keadaan menunduk seperti orang yang sedang sakit). Lantas orang itu bertanya, ‘Sebenarnya apa yang sedang menimpa Muhammad? Apakah dia mengeluhkan sesuatu?’ Orang-orang di situ menjawab, ‘Tidak, memang seperti itulah gaya Muhammad bin Sirin jika berada di sisi ibundanya.” [Shifatush-Shafwah (III/245)].
Dari Hisyam bin Hassan, dari Hafshah binti Sirin, dia berkata: “Diantara kebiasaan Muhammad bin Sirin jika menghadap ibunya adalah tidak berani mengajaknya bicara terlebih dahulu. Semua anggota tubuhnya menunjukkan rasa hormat kepadanya.” [Shifatush-Shafwah (III/245)].
Dari Ibnu ‘Aun dikisahkan bahwa ibunya pernah memanggilnya. Maka beliau pun menjawab panggilan tersebut. Ternyata beliau baru sadar bahwa suara sahutannya lebih keras dibanding suara ibunya. Karena itulah dia menebus kesalahannya itu dengan cara memerdekakan dua orang budak. [Siyar A’lamin-Nubalaa’ (VI/366)].
Dari Hisyam bin Hassan, dia berkata: Hafshah binti Sirin berkata, “Putraku Hudzail biasa mengumpulkan kayu bakar pada musim panas untuk dikuliti. Ia juga mengambil bambu dan membelahnya. Aku tinggal mendapatkan enaknya saja.Bila datang musim dingin, ia membawakan tungku dan meletakkan dibelakang punggungku, sementara aku sendiri berdiam di tempat shalatkku. Setelah itu ia duduk, membakar kayu bakar yang sudah dikupas kulitnya, berikut bambu yang telah dibelah sebagai bahan bakar yang asapnya tidak mengganggu, tapi bisa menghangatkan tubuhku. Demikianlah yang dia lakukan dari waktu ke waktu.“ Hafshah kembali berkata: “Jika aku hendak berpaling darinya, maka aku akan berkata: “Wahai putraku, kurasa sudah cukup. Kembalilah kamu kepada keluargamu.” Setelah itu baru aku akan meninggalkannya.
Hafshah berkata: “Ketika Hudzail akan meninggal dunia Allah memberikan rezeki kepadanya berupa kesabaran. Hanya saja aku menjumpai seperti ada sumbatan di kerongkongannya yang tidak bisa hilang. Pada suatu malam aku membaca surat An-Nahl. Aku pun sampai pada ayat berikut: “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada disisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (An-Nahl: 95-96). Setelah aku membaca ayat ini aku tidak lagi menjumpai ada sumbatan di kerongkongannya seperti sebelumnya.
Hisyam berkata: “Dulu Hudzail memiliki seekor unta yang sangat banyak air susunya.” Hafshah berkata: “Putraku Hudzail selalu mengirimkan susu perahan unta itu setiap pagi. Aku pun berkata kepadanya: “Wahai putraku, sesungguhnya kamu tahu bahwa aku tidak meminum susu. Aku sekarang ini sedang berpuasa.” Hudzail berkata: “Wahai ummu Hudzail sesungguhnya susu yang paling baik adalah susu yang sudah bermalam di kantong susu unta. Oleh karena itu biarkan susu ini padamu atau berikanlah kepada orang yang kamu kehendaki.” [Shifatus-Shafwa: (IV/25)].
Abdurrahman bin Ahmad menyebutkan sebuah berita dari ayahnya bahwa ada seorang wanita yang datang menghadap Baqi. Dia berkata: “Sesungguhnya anakku sekarang ini sedang dijadikan tawanan. Aku bingung mencari jalan keluar untuk membebaskannya. Seandainya saja kamu bisa menunjukkan kepadaku orang yang kira-kira bisa menebusnya. Sesungguhnya aku sekarang ini benar-benar bingung.” Baqi menjawab: “Baiklah, menyingkirlah kamu dulu dari hadapanku sampai aku bisa menemukan solusi untuk permasalahanmu itu.”
Lalu Baqi menundukkan kepalanya dan menggerakkan bibirnya untuk berdo’a. Tidak lama kemudian wanit itu kembali datang bersama putranya. Anak yang semula menjadi tawanan itu berkata: “Tadi aku berada dalam kekuasaan Raja. Ketika itu aku disuruh bekerja, tiba-tiba besi yang membelengguku terlepas. Dia sangat ingat bahwa hari dan jam ketike terlepasnya besi itu mungkin bertepatan dengan do’a sang Syaikh (maksudnya adalah Baqi). Anak itu kembali berkata: “Lantas hal itu diberitahukan kepada penjaga. Dia kebingungan dan akhirnya memanggil seorang tukang besi. Dia kembali mengelas besiku yang lepas tadi. Namun setelah berjalan beberpa langkah, tiba-tiba besi tersebut kembali lepas. Lantas mereka memanggil para rahib mereka. Rahib-rahib itu pun bertanya kepadaku: “Apakah kemu memilki seorang ibu?” Aku menjawab: “Iya”. Mereka berkata: “Kalau begitu lepasnya besi itu bertepatan dengan dikabulkannya do’a ibumu.”
Peristiwa ini sebenarnya diberitakan oleh Al Hafizh Hamzah As-Sahmi, dari Abul Fath bin Ahmad bin Abdul Malik, dia berkata: Aku telah mendengar Abdurrahman bin Ahmad, kami diberitahu ayahku yang menyebutkan kisah itu. Didalam rangkaian ceritanya juga disebutkan bahwa para rahib itu berkata: “Allah telah membebaskan dirimu. Oleh karena itu kami tidak mungkin lagi membelenggu dirimu.” Akhirnya mereka memberiku bekal untuk kemudian mengrimku pulang kepada orang tuaku.” [Siyar A’lamin-Nubalaa’ (XIII/290)]

Mendahulukan Bakti Kepada Ibu


Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata,” Datanglah seorang pria kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak atas pergaulanku yang terbaik?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Ia berkata ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Ia berkata, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Ia berkata, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Bapakmu’.” (Muttafaqun’alaih)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin berkata tentang hadits ini bahwa hadits tersebut menjelaskan tentang orang yang paling berhak untuk menerima pergaulan yang paling baik, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam menjelaskan bahwa orang yang paling berhak atas hal itu adalah Ibu. Sekalipun pertanyaan itu diulang, namun Beliau menjawab yang kedua kalinya, “Ibu”. Demikian hingga pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama diulang hingga tiga kali. Kemudian setelah itu adalah ayah. Karena seorang ibu telah mengalami kelelahan dan kesulitan karena anaknya yang tidak pernah dialami oleh selain dirinya. Sebagaimana firman Allah,
“……ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah….”(Luqman: 14) dan
“……ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)….” (Al-Ahqaf: 15)
Pada malam harinya sang ibu melindungi dan menenangkannya hingga tertidur. Jika muncul sesuatu yang menyakitinya, sang ibu tidak tidur pada malam itu hingga anaknya tidur.
Sang ibu juga menebus anaknya dengan jiwa dengan menghangatkannya jika musim dingin tiba dan mendinginkannya jika musim panas tiba dan sebagainya. Ibu lebih besar perhatiannya kepada anaknya daripada sang ayah. Oleh sebab itulah, hak ibu menjadi berlipat tiga kali dibandingkan hak ayah.
Kemudian selain daripada itu, seorang ibu adalah orang lemah sebagai wanita yang tidak mampu mengambil haknya sendiri. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu’alaihi wasalam berwasiat berkenaan dengannya hingga tiga kali dan berwasiat berkenaan dengan ayah hanya satu kali.
Dalam kitab Fathul Baari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani –ketika menyebutkan hadits tersebut- menjelaskan: “Ibnu Bathal berkata: “Hadits tersebut memunjukkan bahwa hendaknya seorang ibu memiliki porsi tiga kali lipat daripada porsi sang ayah dalam hal mendapatkan bakti. Hal ini dikarenakan seorang ibu mengalami kesulitan saat mengandung, melahirkan dan menyusui. Ketiga hal tersebut merupakan bagian yang hanya dirasakan oleh ibu, sedangkan ayah hanya terlibat bersamanya dalam hal mendidik dan membesarkan anak saja. Poin inilah yang yang telah disinyalir dalam firman-Nya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…” (Luqman: 14). Dalam ayat tersebut, Allah Azza wa Jalla menyamaratakan antara ayah dan ibu dalam hal mendapatkan bakti dari anaknya, kemudian Allah menyebutkan secara khusus ketiga tahap yang dialami oleh seorang ibu.”
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Durhaka kepada ibu merupakan perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar berdasarkan ijma’ para ulama. Ada banyak hadits shahih yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai salah satu dosa besar. Demikian pula, durhaka kepada bapak juga termasuk dosa besar. Hadits ini lebih terfokus kepada ibu karena ketulusan kaum ibu lebih kuat daripada ketulusan kaum ayah. Oleh karena itulah, ketika Rasullullah ditanya seseoarang: ‘Siapakah orang yang lebih berhak untuk mendapatkan baktiku?” Beliau shallallahu’alaihi wasalam menjawab: “Ibumu” sebanyak tiga kali, dan pada keempat kalinya Beliau menjawab: “Bapakmu”. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar perbuatan durhaka dilakukan terhadap kaum ibu, yaitu bahwa anak-anak lebih cenderung untuk melakukan hal itu kepada mereka.”
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair berkata:
“Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.
Sekarang mari kita tengok bagaimana sosok para salaf tentang bakti mereka kepada ibundanya untuk kita renungi bersama dan mudah-mudahan bisa kita jadikan sebagai contoh yang baik untuk kita teladani.

Bakti Kepada Ibu

Jangan tanya berapa usianya, karena sejak lahir, ia tidak pernah dibuatkan selembar surat bernama Akta Kelahiran oleh kedua orang tuanya di kampung. Ia lahir dan besar di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Allah mengaruniainya banyak anak. Karena himpitan ekonomi yang mendera ia dan mendiang suaminya memilih hijrah ke kota Makassar, mencoba peruntungan nasib. Guratan usia dan himpitan ekonomi terlihat jelas di wajahnya yang sepertinya tak pernah tersentuh bedak, apalagi lipstik dan wangi-wangian.
Sudah cukup lama ia hidup sendiri, tidak jauh dari perempatan jalan Urip Sumohardjo dan A.P. Pettarani, Makassar. Anak-anaknya, setelah berkeluarga, pergi meninggalkan. Tak ada lagi yang peduli. Dalam kesendiriannya, ia tak mau berpangku tangan apalagi bermalas-malasan. Haram baginya menengadahkan tangan, meminta belas kasihan orang lain, meski hal itu bisa saja dilakukannya. Ia memilih bertahan hidup dengan menjajakan jagung bakar bagi para pengguna jalan. Sebuah nampan lebar, sebotol minyak tanah dan tumpukan kayu bakar tua setia menemaninya. Ia berjualan tak jauh dari rumah reotnya, karena kedua kakinya yang lumpuh, tak mampu lagi menyanggah beban tubuhnya yang mulai renta.
Begitulah tulis bulletin bulanan Muzakki, menggambarkan profil seorang nenek bernama Satturia. Subhanallah, sudah sejak lama saya mengamati beliau tapi baru kemarin saya secara kebetulan mendapatkan profilnya di bulletin Muzakki tersebut. Hampir setiap hari sepulang kerja dari kantor saya lewat di depan jalan tempat dimana beliau menggelar dagangannya, namun saya masih belum bisa mewujudkan niat saya untuk sekedar membantu membeli jagung bakarnya. Ada dua hal yang bisa kita cermati dari kisah hidup nenek satturia ini. Pertama, kegigihannya dalam mencari rezeki dimana nenek satturia walaupun sudah dalam keadaan yang tua renta akan tetapi tetap berusaha mandiri tanpa mengharapkan belas kasihan orang lain. Padahal, di Makassar ini banyak saya jumpai para pengemis yang masih terlihat jauh lebih muda dan jauh lebih segar fisiknya daripada nenek satturia. Wallahu’alam, dengan kedok kaki cacat, borok dan mimik wajah yang mengiba, mereka mengais rezeki dari belas kasihan orang lain. Kedua, tentang durhakanya anak-anak dari nenek satturia. Seperti apa yang telah dituliskan bulletin muzakki tersebut, nenek satturia dalam masa senjanya hidup seorang diri, padahal beliau (seperti telah diberitakan) memiliki banyak anak. Betapa durhakanya anak-anak dari nenek satturia itu (semoga kita terlindung dari sifat-sifat tercela tersebut). Padahal beliau bisa menjadi kunci surga bagi anak-anaknya seperti telah diberitakan dalam sebuah hadits.
Saya tidak akan menyoroti masalah bagaimana sikap seorang muslim agar tidak pernah berputus asa dalam mencari rezeki dari Allah ta’ala. Akan tetapi kali ini saya akan menyoroti tentang kewajiban seorang anak untuk berbakti terhadap orang tua, terutama kepada ibunda.
Perintah Berbakti Kepada Orang Tua
Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk berbuat baik (berbakti) kepada kedua orang tua kita, Allah subhanahuwata’ala berfirman dalam Al-Qur’an,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.(Al-Ahqaf: 15)
Kemudian pada beberapa ayat (An-Nisa’: 36), (Al-Isra: 23-24), dan (Al-Ankabut: 8 ) –silahkan dibuka kembali Al Qur’annya-.
Dalam Hadits disebutkan tentang keutamaan berbakti kepada orang tua,
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [Hadits Riwayat Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346]

Senin, 30 April 2018

Ustadz Damri 2


Oke brother and sister.. Let's get this on..
Aku merenungi.. benar juga.. kebetulan aku melewati salah satu rumah sakit terbesar di bandung.. di sebrang jalan kulihat orang gila hampir telanjang sedang menatap langit. Mulutnya komat-kamit dan sebentar-sebetar tertawa-tawa kecil. Bukan masalah baginya harga BBM naik, bukan masalah bagi mereka anggota DPR korupsi, bukan masalah bagi mereka berpakaian atau tak berpakaian -- malah orang-orang disekitarnya yang sibuk mencarikannya baju--, apapun yang terjadi pada mereka bukan masalah bagi mereka, tidak ada yang harus diselesaikan.

Penumpang hampir semua mendapatkan kursi, kecuali seorang lelaki yang berdiri dibagian tengah bus ia nampak asyik medengarkan musik dari earphone ditelinganya. Ustadz makin terdengar jelas "Masalah itu adalah tanda bahwa Allah SWT masih memperhatikan kita. Orang itu diberikan masalah mulai dari skala yang kecil sampai yang besar.. berbanggalah orang yang mendapat masalah besar.. Maka dari itu jangan sekali-kali berdoa minta dihilangkan masalah.. Salah-salah kalau dikabulkan kita jadi orang gila tadi..".. beberapa penumpang tersenyum. Tak terasa aku pun mulai menyimak pembicaraan lelaki itu. Aku setuju. Baru menyadari masalah itu bentuk kasih sayang tuhan, optimisme pun mulai menyeruak. Tapi apa solusinya?

"Kuncinya cuma SABAR" kata ustadz penuh penekanan sambil tangannya didekatkan ke dadanya. "DAN JANGAN MEMBATASI SABAR karena Tuhan berjanji akan memberikan pahala tanpa batas hanya dengan sabar".. "Sabar bukan diam dan menerima semua yang menimpa kita.. tapi sabar itu tak kenal putus asa untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik.."
Dalam surat Alam Nashrah Allah berfirman Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap
Allah SWT telah menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan dengan dua kali berturut-turut, begitu penuh penekanan. Bagaimana kita bisa melihat kemudahan itu.. lakukanlah dengan sungguh-sungguh..

Mendengar ayat itu aku jadi tersentak.. Aku sungguh sudah menunda-nunda berbagai macam urusan dan akhirnya aku sampai terpuruk seperti ini. Lalu kemudian untaian kata-kata lelaki ini berubah menjadi ribuan panah es yang menghujam dadaku, sakit tapi ada kesejukan bersamanya.

Apa yang sudah kuperbuat selama ini. Aku menyiakan waktu. Menyiakan biaya. Aku tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan semuanya. Tidak ada orang yang berhasil dengan cara yang mudah. Ada yang sekolah sambil jualan. Ada yang berusaha keras hingga mendapat beasiswa dan menyelesaikan studi dengan sempurna. Ada yang jadi pembisnis besar padahal awalnya cuma loper koran. Mereka semua manusia seperti aku, hanya saja mereka melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh.

Lelaki itu menutup ceramahnya dengan salam. "Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...". Sebagian orang menjawab, lalu kemudian lelaki itu bershalawat sambil membawa wadah, dan para penumpang yang membawa uang lebih mengisi wadah tersebut, termasuk lelaki yang berdiri tadi, dan tak kukira ia memasukan uang yang lumayan besar aku melihatnya sekilas. Aku cuma tersipu, karena ongkosku memang pas-pasan..

-----------

Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras. Aku tak membawa payung. Aku masukan handphone kedalam kantong plastik dan setelah turun dari angkot aku langsung mengarungi hujan. Memang rumah agak jauh dari jalan, sekitar 300 meter. Aku memutuskan untuk berjalan menembus hujan. Sejuk badanku.. sejuk pula hatiku.. Yang akan kulakukan sesampainya di rumah adalah mencium tangan ibuku dan meminta maaf.. selanjutnya aku berjanji akan memperbaiki semuanya dengan sungguh-sungguh. Aku menyadari semua bermula dari diriku sendiri aku belum lulus-lulus, kenapa pula aku harus menyalahkan dosen, pekerjaan, waktu bahkan bus Damri non-AC.. THANKS USTADZ DAMRI lain kali aku akan mengisi kotak amal itu..agar kamu bisa terus memberi kesejukan pada orang-orang dalam bus kota yang panas dan pengap itu..

Ustadz Damri


Suatu hari aku pulang dari kampus dalam keadaan depresi. Apalagi yang membuat seorang mahasiswa depresi kalau bukan diputusin pacar atau ditinggal kawin, tidak punya duit buat bayar SPP, tidak lulus mata kuliah tertentu, paling parah tidak lulus-lulus dan selalu bermasalah dengan dosen. Hujan gerimis aku tembus. Biarlah. Mungkin dapat sedikit mendinginkan isi otakku yang kian mendidih. Handphone berdering tak kuacuhkan, ku sambar sekali mati. Aku tak ingin bicara dengan siapa pun. Apa lagi masalah pekerjaan. Hidupku penuh dilema akhir-akhir ini. Aku bekerja dan kuliah terbengkalai, aku kuliah dan SPP terbengkalai. Aku benci menebalkan muka untuk meminta bantuan pada paman dan bibiku, sudah cukup aku merepotkan mereka. Ibuku tercinta sudah tidak sanggup lagi, pabrik tempat dia sudah sepi orderan. Disinilah semua masalah bertemu, masalah yang kubuat sendiri, masalah keluarga dan masalah akademik. Aku menengadahkan wajah menantang hujan yang lebih besar menyirami tubuhku yang juga dalam suhu tinggi. Asap pun mengepul, bagai bara yang disiram air, terdengar bunyi "jessss...". segar.

Aku berdiri dipinggiran jalan menunggu bus yang akan mengantarkanku pulang. Aku berharap bus AC yang lewat dan disana tersisa satu tempat kosong dan disana sudah duduk seorang gadis cantik yang senyumnya menenangkan hati. Pastilah semua beban-beban itu akan terasa ringan. Dua , tiga, bus lewat, bukan AC, cuma damri ekonomi, aku tidak naik. Dan kemudian diikuti bus AC yang penuh, kemudian bus AC berikutnya penuh, dan penuh, kemudian penuh lagi dan seterusnya penuh. Sial. Sudah hilang kesabaranku menunggu. Sebuah damri lewat dengan penumpang berdesakan. Sudahlah, apa boleh buat naik saja, biarlah berdiri, biarlah pengap, biarlah bau keringat, biarlah.

Langit masih kelam, sudah hampir setengah jam aku berdiri dan akhirnya ada tempat yang kosong tepat di depanku. Tapi aku kulihat seorang perempuan paruh baya yang berdiri melihat tempat itu lalu kemudian menatapku. Aku tak akan tega melihat seorang wanita berdiri, sementara aku enak enak duduk. Apalagi mungkin dia seorang ibu. Biarlah aku berdiri sampai terminal. Tapi tak berapa lama aku dapat tempat duduk juga. Disamping jendela aku merenungi semua yang telah terjadi selama ini, asal muasalku hingga sampai duduk di dalam damri ini. Jika aku gagal dalam menyelsaikan masalah ini kubayangkan betapa kecewanya ibuku, adikku, nenekku, paman-bibiku, sahabat-sahabatku dan semua warga waras jaya desa mekar mulya. Mau jadi apa aku ini.

Tiba-tiba terdengar.. "Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh..."...
Seseorang dengan peci putih dan wajah bersahaja berdiri dihadapan penumpang bus damri layaknya pengamen. Orang tetap pada keadaanya, ada yang tetap tidur, ada yang tetap main HP ada juga yang tetap memandang keluar, sebagian besar tak acuh, hanya beberapa yang menjawab salam. Aku termasuk yang menjawab salam, tapi aku tak terlalu menganggapnya, mataku terus melihat-lihat keluar jendela sambil merasakan angin yang berhembus dari selah kaca mobil.

Lalu pria itu mulai menyapa penumpang yang ada, mulai dari supir-kernet, sampai sepasang kekasih yang sedang asyik mengobrol, tak lupa pula ia menyapa pria yang sedang melamun dengan mata tertuju keluar bus dan pikiran entah dimana. Pria itu pun sedikit terkejut dan mengerutkan keningnya. Menarik, lelaki ini kemudian membicarakan bahwa setiap orang hidup pasti akan diberikan masalah oleh tuhan kecuali satu jenis orang. Orang apakah itu? "ORANG GILA" katanya sambil tersenyum.